IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA

MENDAMBA LAHIRNYA ORGANISASI PROFESI PUSTAKAWAN DAERAH 


Dalam perjalanan panjang sejarah perpustakaan di Indonesia, sebelum organisasi profesi pustakawan (IPI) lahir sudah ada beberapa organisasi kepustakawanan. Mereka ini adalah Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen (1916), Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) 1953, Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) 1954, Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI) 1956, Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) 1962, Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI) 1969, dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY). Sedangkan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) baru berdiri pada tanggal 6 Juli 1973 merupakan hasil dari Kongres Pustakawan Indonesia yang diadakan di Ciawi Bogor pada tanggal 5-7 Juli 1973. Kongres ini merupakan perwujudan kesepakatan dari para pustakawan APADI, HPCI dan PPDIY dalam pertemuan yang diadakan di Bandung pada tanggal 21 Januari 1973 untuk menggabungkan seluruh unsur pustakawan dalam satu asosiasi. Pada Kongres Pustakawan Indonesia tersebut, paling tidak ada dua acara utama yang diagendakan, yaitu : pertama, Seminar tentang berbagai aspek perpustakaan, arsip, dokumentasi, informasi, dan pendidikan. Kedua, Pembentukan organisasi sebagai wadah tunggal bagi pustakawan Indonesia. Berkaitan dengan acara yang disebut terakhir, Ketua HPCI Ipon S. Purawidjaja melaporkan bahwa sebagian besar anggota HPCI, melalui rapat di Bandung tanggal 24 Maret 1973 dan angket, setuju untuk bergabung dalam satu organisasi pustakawan. APADI pun memutuskan bersedia meleburkan diri melalui keputusannya tertanggal 4 Juli 1973, dan terhitung sejak 7 Juli 1973 APADI bubar sejalan dengan terbentuknya IPI. Dengan kesepakatan bersama itu, maka kongres Ciawi melahirkan wadah tunggal pustakawan Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia.

Dinamika perkembangan IPI selanjutnya terbentuklah kepengurusan di daerah, baik itu  di tingkat provinsi maupun kabupaten / kota. Tujuan didirikannya IPI antara lain meningkatkan profesionalisme pustakawan, mengembangkan perpustakaan dan kepustakawanan, serta pengabdian kepada masyarakat di bidang kepustakawanan. Namun dalam realitanya kepenguruan IPI di tingkat daerah sampai saat ini belum semua terbentuk, termasuk di Kabupaten Semarang.

Keberadaan IPI di Daerah sangat ditunggu kehadirannya untuk melakukan konsulidasi serta tempat berbagi pengalaman maupun pengetahuan bagi insan perpustakaan. Memang harus diakui, masih ada dikotomi profesi. Sebagian pustakawan masih merasakan bahwa profesi ini belum mendapat tempat yang semestinya dan pengakuan yang sejajar dengan profesi lainnya karena sifatnya yang sangat terbuka dan toleran.  Ambil contoh untuk kasus pengelolaan perpustakaan sekolah yang sampai saat ini masih dikelola dengan sambilan karena belum tersedianya pustakawan sekolah. Di Perpustakaan Sekolah, seorang guru yang kekurangan jam mengajar merangkap tugas menjadi “pustakawan perpustakaan sekolah”. Kondisi yang demikian memang dapat menjadi solusi sementara di kala belum tersedia pustakawan di sekolah. Padahal guru sendiri mempunyai tugas utama mengajar. Terkadang guru yang merangkap tugas tersebut belum tentu juga memahami secara benar ilmu mengelola perpustakaan. Kondisi demikian memang kelihatannya jadi solusi yang benar dan saling menguntungkan dalam upaya penyelenggaraan perpustakaan di Sekolah. Namun juga memunculkan adanya suatu kesan “untung bagi profesi guru - miris bagi profesi pustakawan”.  Jam mengelola perpustakaan bagi guru, serta perolehan mengikuti sertifikat workshop / seminar / bimtek perpustakaan dapat dijadikan modal untuk mendapat sertifikasi guru. Belum lagi bicara kebijakan sertifikasi profesi. Serfitikasi pada profesi guru mendapat tunjungan sertifikasi sedangkan sertifikasi bagi pustakawan tidak berdampak pada keluarnya tunjangan sertifikasi. Sepertinya di sini memang telah terjadi  tumpang tindih kebijakan dalam suatu profesi fungsional. Lahan yang mestinya digarap oleh pustakawan ditunggangi oleh profesi fungsional lainnya. Kenapa Pemerintah tidak dapat mengangkat seorang pustakawan atau lulusan/sarjana Ilmu Perpustakaan untuk mengelola perpustakaan sekolah. Sehingga masuklah rumusan the right man on the right place. Pada kondisi yang demikian perlu disikapi tentunya. Sayangnya sampai saat ini organisasi profesi pustakawan belum semua terbentuk di daerah. Kondisi demikian tentu akan menyulitkan bagi insan perpustakaan mengambil langkah bersama guna menjembati permasalahan seputar kepustakawanan dan penyelenggaraan serta pengelolaan perpustakaan di daerah termasuk persoalan yang terjadi di perpustakaan sekolah maupun desa / kelurahan.

Di kalangan pustakawan, asosiasi profesi pustakawan merupakan organisasi profesional yang dibentuk untuk menggalang para pustakawan dan lembaga perpustakaan dalam suatu wadah yang dapat melindungi, memperjuangkan, meningkatkan dan mengembangkan profesionalismenya. Sebagai seorang profesional, pustakawan memiliki kualifikasi dalam melaksanakan kedudukan dan jabatannya.  Menjadi seorang pustakawan adalah pilihan dan panggilan jiwa bagi insan perpustakaan. Pilihan yang harus dijalani dengan konsekuensi penuh atas disiplin keilmuannya. Kompetensi yang harus dimiliki sebagai konsekuensi keilmuannya antara lain mengembangkan ilmu yang telah diperoleh,  mampu berfikir kreatif dan inovatif, perencanaan yang baik, kritis dan memilih prioritas terbaik bagi pengembangan kepustakawanan. Kompetensi profesional menyangkut pengetahuan yang dimiliki pustakawan khusus dalam bidang sumberdaya informasi, akses informasi, teknologi, manajemen dan riset, serta kemampuan untuk menggunakan bidang pengetahuan sebagai basis dalam memberikan layanan perpustakaan dan informasi.

Melihat kondisi yang demikian termasuk di Kabupaten Semarang mendesak untuk segera membentuk kepengurusan di daerah. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan terutama pada Pasal 29, 32 dan 34 mengamatkan bahwa pembentukan organisasi pustakawan (IPI) dapat difasilitasi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan dibentuknya Pengurus Daerah IPI, diharapkan pustakawan mampu berkiprah di dunianya sendiri, mengabdikan ilmu yang telah diperoleh di bangku pendidikan formal maupun non formal. Kiprah ini tentunya harus diikuti dengan perhatian yang cukup dari pemerintah terutama bagi pustakawan yang bergerak di sektor swasta (non PNS). Termasuk perhatian kebijakan pada penyelenggara perpustakaan terutama perpustakaan desa / kelurahan maupun perpustakaan sekolah bahwa pengelolaan perpustakaan diserahkan kepada orang yang memiliki kompetensi keilmuan di bidangnya. Mengingat sudah banyak dihasilkan lulusan sarjana perpustakaan, jadi jangan sampai terjadi di negeri ini sarjana Ilmu Perpustakaan kehilangan “jejak” keilmuan setelah menempuh pendidikan formal maupun non formalnya. Semoga. // Asih Winarto.

BANYAK DIMINATI

DAFTAR NPP (NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN)

  NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN   PENDAHULUAN Pasal 15 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mengamanatkan ...