KESENJANGAN DIGITAL


KESENJANGAN DIGITAL
PENGHAMBAT LITERASI INFORMASI

Rendahnya tingkat penguasaan informasi serta pola pikir sebagian masyarakat yang menganggap kehadiran internet masih sebatas media hiburan menjadi penyebab kesenjangan digital. Kesenjangan terjadi karena adanya jurang pemisah antara masyarakat yang mengakses teknologi informasi digital secara efektif dengan yang tidak mengakses sama sekali. Apabila ditinjau dari perspektif sosial dan kebudayaan, internet sebagai introduksi dari salah satu jenis teknologi telah mendorong berlangsungnya perubahan di masyarakat. E-commerce, cybercrime dan cybersex misalnya sebagai contoh dari beberapa perubahan radikal dalam lingkup ekonomi dan sosial masyarakat. Sehingga kehadiran internet mendorong munculnya kecemasan baru di sebagian kalangan masyarakat. Namun demikian pada sisi lain adanya dukungan konvergensi antara telekomunikasi media dan informatika dalam menyediakan informasi yang mudah dan cepat sebagai wahana menstranfer pemikiran, gagasan, pengetahuan dan ketrampilan mampu mendongkrak daya saing di era global sekarang ini.

Tumbuhnya masyarakat informasi tidak terlepas dari adanya revolusi digital yang muncul pertengahan abad 20. Revolusi ini telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam upaya pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian halnya dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dunia perpustakaan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mengamanahkan pentingnya penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pasal 14 (3) juga menyatakan bahwa setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pengembangan teknologi digital yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi pada hakekatnya akan mampu mempercepat tumbuh-kembangnya suatu perpustakaan, apabila dapat diterapkan dengan baik guna meningkatkan kemampuan literasi digital masyarakat secara merata terutama di daerah pinggiran.

Banyak hal yang diperkirakan menyebabkan lambatnya pengembangan tekonologi informasi dan komunikasi dimaksud, misalnya tingkat perkembangan ekonomi yang belum mendukung. Relatif tingginya jumlah penduduk di pinggiran dan pedesaan dengan berbagai persoalan yang dihadapi seperti rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya akses informasi, rendahnya tingkat pemahaman menguasai komputer dan internet. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan, keterampilan dan pemahaman mengaplikasikan teknologi informasi komunikasi yang demikian pesat perkembangannya  agar dapat berinteraksi dengan masyarakat luar terutama agar dapat menerima informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri  agar dapat meningkatkan Pengetahuan yang bermuara pada  peningkatan tarap hidupnya. Perpustakaan dituntut untuk dapat memberi pelayanan dan sekaligus pengenalan teknologi informasi dan komunikasi bagi masyarakat terutama masyarakat terpencil yang jauh dari jangkauan layanan teknologi informasi.

Secara umum untuk menggambarkan kondisi sumber daya manusia di bidang telematika dapat diketahui dari tingkat kesadaran, pemahaman dan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi yang disebut e-literacy. Literacy dalam kamus bahasa Inggris, diartikan sebagai “the ability to read and write” atau kemampuan untuk membaca dan menulis. Dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan kata ‘melek’. Secara sederhana literasi adalah  kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy Profiles of America’s young adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar. (Prabudhi, 2013. Pesan Damai).

Penciptaan generasi yang literat, saat ini mencakup berbagai bidang kehidupan diantaranya literasi membaca, literasi politik, literasi pengetahuan, literasi gender dan berbagai literasi lainnya. Persamaan diantara berbagai konsep literasi adalah penciptaan masyarakat yang memiliki kebebasan akses informasi dan cerdas menggunakan informasi yang dimilikinya. Dalam bidang yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi atau ICT dikenal beberapa jenis literacy atau kadar melek seseorang, yaitu melek informasi, melek komputer, melek internet, melek teknologi. Sebagai hulu dari semua ‘melek’ tersebut adalah melek informasi.      

E-literacy, dapat dilihat dari gambaran kemampuan akses masyarakat terhadap informasi melalui internet yang didukung oleh keunggulan teknologi informasi dan komunikasi. Secara teoritis, untuk sampai ke tingkat ICT- Literacy ada empat tahap yang harus dilalui, yaitu : 1). Information Literacy, 2). Computer Literacy, 3). Digital Literacy dan 4). Internet Literacy ( sumber : Ministry of Communication and Information Technology, Version 1,0 : Desember 2006). Secara jelas diuraikan bahwa :
  1. Information literacy adalah kemampuan mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi dan berbagai bentuk, seperti buku, surat kabar, video, CD-Rom atau Web.
  2. Computer literacy adalah kemampuan menggunakan computer untuk memenuhi kebutuhan peribadi ataupun suatu instansi.
  3.  Digital Literacy adalah kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber ketika disajikan melalui alat – alat teknologi digital.
  4. Internet literacy adalah kemampuan menggunakan pengetahuan teoritis dan praktis mengenai internet sebagai suatu media komunikasi dan informasi bagi manusia yang memerlukannya.     

Gambaran e-literacy secara konseptual dapat dikategorikan dalam enam kategori, berdasarkan  konsep atau teori Personal-Capability Maturity Model (P-CMM).  Menurut teori ini, level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti berikut :

Level 0
seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;
Level 1
jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali dimana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;
Level 2
jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;
Level 3
jika seorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;
Level 4
jika seorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi;
Level 5
jika seorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagai bagian tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).

Sebagian besar manusia mempunyai kebutuhan dasar untuk mengadakan interaksi sosial. Dari pengalamannya, individu ini berharap bahwa konsumsi atau pengunaan media massa tertentu akan memenuhi sebagian kebetuhannya. Hal ini menuntun pada kegiatan penggunaan internet, apakah berinteraksi dengan dunia luar dengan penggunaan email atau pun chatting, medsos, membuka situs-situs yang berhubungan dengan kebutuhannya, membaca content website dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, kegiatan ini menghasilkan gratifikasi kebutuhan, tetapi dapat pula menimbulkan ketergantungan dan perubahan kebiasaan dan ini merupakan efek dari penggunaan internet. Akhirnya, kembali kepada individu masing-masing dalam memberikan sikap terhadap pemanfaatan media. Diharapkan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi di perpustakaan terutama bagi penyelenggaraan perpustakaan di daerah pinggiran dan juga desa dapat dijadikan upaya untuk mengatasi kesenjangan digital. Semoga!


Daftar Pustaka

Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, (2004). Telematika Indonesia, Kebijakan dan Perkembangan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKPI). Jakarta.
Perpustakaan Nasional. (2009) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta. 
Prabudhis. (2013). Pesan Damai. Komunitas Media Pramuka.
Severin, W.J, James W. Tankard, Jr. (2005). Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, Dan Terapan di Dalam Media Massa. Edisi Kelima. Jakarta : Prenada Media.

BANYAK DIMINATI

DAFTAR NPP (NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN)

  NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN   PENDAHULUAN Pasal 15 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mengamanatkan ...