Perpustakaan sebagai Institusi
Oleh :
Asih Winarto )*
Alfin Tofler mengatakan siapa yang menguasai
informasi berarti telah menguasai dunia. Perpustakaan sebagai pusat informasi
sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menuju jendela kemajuan peradaban.
Masyarakat yang menghargai informasi tentu akan lebih mudah memberdayakan
dirinya sendiri dan lingkungannya. Sebaliknya, masyarakat yang kurang memahami
betapa pentingnya informasi akan sulit dalam memberdayakan dirinya sendiri,
bahkan pada titik kritis ia akan mudah dipecundangi oleh siapapun atau bahkan
oleh bangsa lain. Ambil contoh yang masih hangat oleh ingatan kita, fenomena
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di dalam maupun luar negeri yang cenderung buta
informasi membuktikan hal ini. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi
karena minimnya akses terhadap informasi.
Sejatinya
keberadaan perpustakaan di Indonesia sudah tersirat di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 serta beberapa pasal dalam batang tumbuhnya. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan
bahwa tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih tegas
Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Sedang ayat (2) berbunyi setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Salah satu sarana
penunjang suksesnya pelaksanaan pendidikan adalah melalui penyelenggaraan
perpustakaan, baik itu di lingkungan sekolah, maupun yang berada di
tengah-tengah lingkungan masyarakat. Karena siapapun orangnya, ia berhak dan
tidak ada larangan untuk mengakses perpustakaan dengan segala jenis layanan dan
fasilitas yang ada di dalamnya. Dengan demikian sudah semestinya pemerintah
cepat dalam merespon dan menyediakan perpustakaan bagi masyarakat sebagai
konsekuensi dan kelanjutan dari kewajiban warga negara mengikuti pendidikan
dasar, dan bahkan lebih dari itu yaitu sebagai sarana atau tempat belajar
sepanjang hayat.
Terlambat Merespon.
Tanggal 17 Mei 1980 merupakan hari yang bersejarah bagi dunia
perpustakaan di tanah air. Pada waktu itu Daoed Joesoef secara resmi
mencanangkan berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
Pada permulaannya Perpusnas berdiri masih berada dalam naungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan setingkat Eselon II di bawah Direktorat Jenderal
Kebudayaan. Perpusnas merupakan hasil penggabungan dari empat perpustakaan
besar di Jakarta, yaitu Perpustakaan Museum Nasional, Perpustakaan Sejarah,
Politik, dan Sosial (SPS), Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta, serta Bidang Bibliografi
dan Deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan. Kemudian, selang waktu 9 tahun
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1989 tanggal 6 Maret 1989
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpusnas menjadi Lembaga Pemerintah
Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. Selanjutnya dalam rangka menghadapi era globalisasi,
Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1997 tanggal 29
Desember 1997 tentang Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia sebagai landasan hukum strukturalnya.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan perpustakaan boleh
dikatakan agak sedikit terlambat. Ibu pertiwi yang telah merdeka pada tahun 1945,
baru melahirkan perpustakaan nasional 35 tahun kemudian. Ironisnya lagi,
pemerintah membutuhkan selang waktu 9 tahun untuk mengakui perpusnas sebagai
institusi yang sejajar dengan institusi yang lain dengan status mandiri (LPND,
tahun 1989). Bila kita sedikit mau melihat dan belajar “bukan membandingkan”
dari negeri sakura negerinya Si Oshin yang hancur lebur dibom atom oleh sekutu
pada tahun 1945 jauh lebih cepat dalam memberi respon terhadap betapa
pentingnya membangun sumber daya manusia melalui aktivitas membaca. Jepang
ternyata hanya membutuhkan waktu 3 tahun saja untuk dapat melahirkan Institusi
Perpustakaan Nasionalnya, yaitu pada tahun 1948. Walhasil, budaya baca di
Jepang sangat menggembirakan. Aktivitas membaca menjadi pemandangan yang mudah dijumpai
di setiap tempat. Lagi pula, aktivitas membaca telah menjadi suatu budaya dan
juga kebutuhan bagi masyarakat di Jepang.
Perpustakaan sebuah Institusi.
Tahun
2007, merupakan tahun bersejarah dalam perkembangan perpustakaan di tanah air.
Tepatnya pada tanggal 1 Nopember 2007 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan disahkan dan diundangkan. Payung Hukum Perpustakaan tadi terdiri
atas 15 bab dan 54 pasal yang mengatur hak, kewajiban, dan kewenangan
perpustakaan. Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan bahwa perpustakaan adalah
institusi pengelola karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara
profesional dengan sistem baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan pada ayat (6) menjelaskan
bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat
luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan status social-ekonomi. Terkait kewajiban
pemerintah diatur dalam pasal 7 dan 8 yang mewajibkan pemerintah pusat dan
daerah untuk mengembangkan sistem perpustakaan yang mendukung sistem pendidikan
nasional. Pasal 22 ayat (1) menjelaskan bahwa perpustakaan umum diselenggarakan
oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten / kota,
kecamatan, dan desa / kelurahan, serta dapat diselenggarakan oleh
masyarakat.
Penyelenggaraan perpustakaan umum oleh pemerintah
mulai dari pemerintah daerah, kecamatan, sampai ke pemerintah desa/kelurahan
mestinya dilandasi dengan landasan hukum struktural dan fungsional sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan undang-undang yang mendefinisikan bahwa
perpustakaan sebuah institusi. Namun dalam perjalanannya di daerah terutama di
tingkat desa/kelurahan masih banyak dikumpai baru sekedar penitikberatan dalam
upaya menumbuhkan minat baca. Bahkan penyelenggaraan perpustakaan masih saja
dilihat sebagai halnya suatu pekerjaan layaknya bangunan fisik yang segera
dapat diselesaikan dan rampung ketika telah dipotret. Dikatakan demikian karena
masih ada anggapan yang penting telah memiliki ruangan, rak buku, koleksi buku,
dan ada yang mengelola sudah dapat dikatakan telah menyelenggarakan
perpustakaan. Selain hal itu, juga dikarenakan adanya perbedaan pemahaman dan
persepsi mengenai peran perpustakaan, serta bervariasinya kondisi dan kemampuan
manajemen, prioritas pembangunan, serta kemampuan finansial yang dimiliki oleh
penyelenggara perpustakaan di daerah, maupun di tingkat kecamatan, serta
desa/kelurahan.
Dr. Shiyali Ramamrita (SR) Ranganathan dalam 5 Hukum
Ilmu Perpustakaan, menyatakan bahwa perpustakaan selalu tumbuh dan berkembang
serta berubah dan akan selalu mengalami perubahan. Koleksi perpustakaan selalu
bertambah dan berubah, demikian halnya dengan teknologi yang terus berkembang pesat.
Perubahan yang kompleks tersebut harus diantisipasi dan diimbangi dengan
manjemen yang baik. Institusi perpustakaan harus mampu memanajemen dan
mengakomodir adanya pertumbuhan staf, koleksi, serta sarana dan prasarana yang
digunakan. Pertumbuhan dimaksud juga terkait dengan fisik bangunan, ruang
pembaca, jenis layanan, dan juga dalam hal menggelola koleksi serta
mengkomunikasikannya kepada para pemustaka agar koleksi yang dimiliki mudah
dicari dan digunakan. Karena bagaimanapun, ilmu akan terus berkembang dan
perpustakaan sebagai gudang ilmu harus pula ikut tumbuh selaras dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan menempatkan dan memposisikan perpustakaan
sebagai sebuah institusi diharapkan kedepannya keberadaan perpustakaan dapat
digunakan sebagaimana mestinya untuk sarana mengakses informasi dan juga tempat belajar secara
berkesinambungan dan berlaku sepanjang hayat bagi seluruh lapisan masyarakat. Sehingga
akhirnya nanti apa yang
menjadi cita-cita para leluhur pendiri bangsa untuk memerdekakan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa akan mudah terwujud dan tidak akan ada lagi peristiwa
pembodohan terhadap TKI di negeri sendiri, apalagi di negeri seberang.
*) Asih Winarto, S.I.Kom. Pustakawan Muda KPAD Kabupaten Semarang.
Daftar
Pustaka :
Delly H., Dadang. (2005). Strategi Dinas Pendidikan, Dalam
Meningkatkan Budaya Baca Masyarakat. Bandung : Ikatan Pustakawan Indonesia
(IPI) Jabar.
Doman, Gleen. (1991 : 19). Mengajar Bayi Anda Membaca. Penerjemah,
Ismail Ibrahim. Jakarta : Gaya Favorit Press.
H.A.R. Tilaar. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar